Anjing Liar New Guinea Terbukti Berada di Dataran Tinggi Papua


22 October 2020


Spesies langka anjing purba ternyata belum punah seperti yang ditakutkan, sebuah studi ilmiah yang baru-baru ini diterbitkan mampu membuktikannya.

Sebuah studi yang baru dirilis memberikan bukti ilmiah bahwa spesies anjing purba unik yang selama ini dianggap telah punah ternyata masih hidup di wilayah yang tidak kalah unik—dataran tinggi Papua yang mengelilingi area operasi PT Freeport Indonesia. 

Bukti ini mengindikasikan bahwa spesies liar yang dikenal dengan Anjing Liar Dataran Tinggi New Guinea/New Guinea Highland Wild Dog, yang pertama kali didapati di Papua New Guinea oleh seorang peneliti Belanda di tahun 1897, berbagi 72 persen profil genetik dengan anjing yang ditangkap di Papua dan dibawa ke Amerika Serikat pada tahun 1970-an. 

Populasi yang ditangkap ini, dikenal dengan Anjing Bernyanyi/Singing Dogs dikarenakan lolongannya yang khas, dianggap sebagai survivor tunggal dari spesies yang telah punah, yang sama seperti Dingo Australia/Australian Dingoes, merupakan jenis yang dapat dikategorikan antara serigala dan anjing modern dalam lini masa evolusinya. 

Studi terakhir ini, yang dipublikasikan pada 31 Agustus 2020 pada the Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America/Catatan Akademi Sains Nasional Amerika Serikat, mengkonfirmasi bahwa keragaman genetik dari sampel yang dikumpulkan oleh sebuah tim terdiri dari peneliti lapangan yang dipimpin oleh James McIntyre, pendiri New Guinea Highland Wild Dog Federation. Penulis utama artikel ilmiah ini adalah Dr. Suriani Surbakti dari Universitas Negeri Papua. 

PT Freeport Indonesia mendukung proyek ini dengan menyediakan dana dan logistik yang diperlukan tim peneliti untuk melakukan ekspedisi guna melacak dan meneliti anjing liar dataran tinggi di tahun 2016 yang melibatkan James McIntyre dan Denny Iyai dan Johan Koibur dari Universitas Negeri Papua, serta di tahun 2018 yang melibatkan McIntyre berkolaborasi dengan Dr. Suriani Surbakti, Dr. Hendra Mauri dan Dr. Margaretha Pangau dari Universitas Cenderawasih.
 
Penelitian lanjutan yang dijadwalkan berlangsung Maret tahun ini harus ditunda sehubungan dengan pandemi yang terjadi, dan akan dijadwalkan ulang untuk dilangsungkan pada pertengahan tahun 2021. 

“Kita telah menyediakan bantuan finansial bagi peneliti internasional dalam kerja sama mereka dengan universitas setempat untuk mewujudkan penelitian ini. Selain bantuan finansial, kita juga memberikan bantuan lain berupa tempat tinggal, makanan dan akses transportasi ke tempat-tempat terpencil,” terang Jim Dellinger, Technical Expert-Environmental Planning and Implementation PTFI. “Kita juga memfasilitasi penelitian di lapangan dan membantu menjembatani komunikasi antara peneliti dengan penduduk desa setempat guna membahas sejarah hubungan suku asli dengan anjing-anjing ini.” 

PTFI telah melakukan lebih dari sekadar membiayai dan memfasilitasi penilitian ini, mengingat komitmen perusahaan dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati lingkungan sekitar telah menciptakan area aman de-facto bagi ratusan spesies flora dan fauna.

Sejarah kabur dari misteri keilmuan

Para peneliti belum bisa menentukan secara pasti kapan Anjing Liar Dataran Tinggi New Guinea ini pertama kali tiba di New Guinea, pulau terbesar kedua di dunia. Namun, mereka memperkirakan hal ini terjadi sekitar 3.500 tahun yang lalu, di periode yang sama saat dingo tiba di Australia. Hal yang cukup merumitkan adalah adanya anjing kampung yang ditemukan di wilayah dataran rendah—hanya pengamat terlatih yang mampu membedakan antara Anjing Bernyanyi tangkapan dengan anjing misterius yang ditemukan di dataran tinggi. Anjing kampung ini diperkirakan merupakan beragam kombinasi dari anjing piaraan dan anjing liar, termasuk yang dibawa ke Papua ribuan tahun lalu saat bangsa Cina mengembangbiakkan jenis terrier untuk menangkap tikus dan membasmi hama di kapal-kapal. 

McIntyre dan timnya mengambil darah, bulu, air liur dan kotoran anjing kampung pada ekspedisi tahun 2018. Hasil penelitian membuktikan bahwa walaupun sebagian besar anjing ini memang benar adalah anjing kampung, setidaknya dua dari anjing yang diteliti merupakan hasil kawin silang dengan Anjing Liar Dataran Tinggi. 

Tim kemudian melepaskan kedua anjing ini di dataran tinggi dan memasang alat pelacak guna memantau pergerakan mereka. 

Para peneliti menawarkan dua alasan dalam menjelaskan mengapa hanya terdapat 28 persen perbedaan antara spesimen Anjing Liar Dataran Tinggi dengan Anjing Bernyanyi tangkapan:

  • Hilangnya keragaman genetik pada anjing tangkapan akibat pengembangbiakan ekstrim, mengingat populasi anjing tangkapan ini berasal dari peranakan delapan anjing asli. 
  • Kawin campur antara Anjing Liar Dataran Tinggi dengan anjing kampung. Banyak anjing jenis ini yang dijadikan hewan peliharaan dan sejumlah lainnya berkeliaran sebagai kumpulan. 

Hal yang membingungkan terjadi saat terdapat kawin silang antara anjing-anjing ini di elevasi yang lebih rendah, misalnya di Tembagapura, namun penelitian ini juga membuktikan bahwa anjing-anjing yang diteliti di wilayah dataran tinggi memiliki karakteristik yang unik dan terpisah, membuktikan bahwa anjing-anjing di dataran tinggi tidak kawin silang dengan anjing kampung. 

Bukan anjing biasa

Menarik hubungan antara Anjing Bernyanyi tangkapan yang dibawa ke AS pada tahun 1970-an dengan Anjing Liar Dataran Tinggi yang ditemukan di sekitar Grasberg, dan juga anjing kampung di wilayah dataran rendah telah menjadi teka-teki berkepanjangan. Sedangkan untuk membedakan mereka dari anjing modern, mungkin sulit untuk membedakan mereka dari anjing kampung hanya dengan penampilan saja. Penelitian yang dilakukan pada Anjing Bernyanyi tangkapan dan Anjing Liar Dataran Tinggi telah mengungkapkan perbedaan yang signifikan dalam susunan dan perilaku biologis mereka.

Ruas-ruas dan tulang belakang Anjing Liar Dataran Tinggi dan Anjing Bernyanyi tangkapan jauh lebih lentur, sehingga memampukan mereka melompat dan memanjat layaknya kucing atau monyet dibandingkan dengan anjing-anjing modern. Anjing ini disebut Anjing Bernyanyi karena mereka memiliki lolongan yang unik. Sonogram membuktikan bahwa suara mereka hampir sama dengan suara paus bungkuk. Saat melolong bersamaan, satu anjing akan mulai “bernyanyi” dan anjing-anjing lain akan mengikuti dengan nada-nada yang berbeda, seolah-olah mereka tengah melakukan paduan suara gereja. 

Raja hutan atau lebih tepatnya hutan tropis 

Papua, yang telah terisolasi secara geografis sejak Zaman Es, memiliki spesies laut dan amfibi seperti buaya namun tidak memiliki kucing, beruang atau monyet sebagai satwa asli. Hal ini membuat Anjing Gunung New Guinea berperan sebagai predator puncak mamalia di Papua.

Meskipun laporan berita menyebutkan kegagalan dalam mengidentifikasi spesies tersebut sejak tahun 1970-an sebagai bukti kepunahan mereka di alam liar, penduduk asli Papua dan karyawan PT Freeport Indonesia telah lama mengetahui bahwa anjing-anjing itu masih ada. 

“Pengecualian untuk sebagian besar artikel berita baru-baru ini adalah saat mereka mengatakan anjing-anjing ini sudah lama tidak terlihat, karena kami melihat anjing-anjing ini setiap hari, dan penduduk setempat telah mengetahui dan berinteraksi dengan mereka selama ini,” kata Dellinger.

Penduduk asli Papua bahkan menjembatani keberadaan mereka sendiri dengan anjing-anjing misterius itu, kata Pratita Puradyatmika, General Superintendent-Highlands Reclamation PTFI.

“Penduduk asli di sini memuja anjing-anjing ini sebagai nenek moyang mereka sendiri, itulah sebabnya mereka sangat dihormati dan ditoleransi daripada diburu atau dikejar,” kata Pratita.



 

Dinamakan White Cheek, Anjing Liar Dataran Tinggi New Guinea ini menyelidiki umpan bau yang dirancang untuk mendekatkan hewan tersebut ke peneliti.





Kembali Ke List